Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

CERPEN

MENGAJARI IMAH

Mungkin tak seharusnya aku menyanggupi permintaan Abah. Dengan begitu, aku tak perlu bertemu pemilik senyuman itu. Semua kini terlambat. Aku hanya sanggup meraup wajahku dengan telapak tangan sambil berusaha meredam degup jantungku dengan memohon ampunNya dalam wiridku. Ya Tuhan, beginikah yang dialami Imam Syafii saat menghindari perempuan demi kekhusyu’an pembelajarannya dulu?

*&*&

“Abah memanggilku?” ucapku ketika menemui Abah di rumahnya. Ini adalah panggilan yang tak biasanya mengingat hari ini aku tidak membolos lagi mengaji. Abah mengangguk elegan dalam posisinya yang duduk di atas kursi teras. Tak jauh di sampingnya duduk pula Umi yang menjadi nyai – predikat hormat bagi istri kiai di Cirebon – di rumah ini. Sedangkan aku cukup duduk bersila di lantai teras. Bukan karena Abah tak mengizinkan aku duduk di kursi sepertinya, tapi inilah wujud hormatku kepada Abah. Wujud memuliakan guru sebagaimana kupahami melalui kitab Ta’lim Mutaalim yang pernah  Abah ajarkan kepadaku.

“Bahasa Arabmu fasih, tah?” tanya Abah dengan logat Jawa Cirebon yang kental.

“Alhamdulillah menguasai sedikit, Abah,” aku merendah.

“Bisa ajarkan si Imah juga? Nilai Bahasa Arabnya di sekolah jeblok. Bikin malu bapaknya saja!!” ucap Abah, tanpa bermaksud marah-marah.

Mengajari Kang Imah? desisku gelagapan. Terbayang aku akan duduk berduaan bersama anak tunggal abah itu, yang tentu saja bukan muhrimku. Juga kecamuk pikiran yang mendadak berkelindan. Bukankah Abah lebih jago berbahasa Arab ketimbang aku? Mengapa perlu aku?  Begitu pikirku. Dan pikiran itu sempat ingin kujadikan alasan menolak permintaan Abah.

Tapi beranikah aku yang hanya seorang murid menolak permintaan gurunya?

“Abah sudah mengajarinya,” untung Umi menimpali, seakan mengerti dilemaku, “Tapi diajari ayahnya sendiri, anak itu malah makin malas. Jadi kami minta tolong kamu saja.”

Aku terdiam paham. Tetapi entahlah. Hatiku rasanya masih enggan menyetujui permintaan ini. Bagaimanapun Kang Imah bukanlah muhrimku – dan aku belum pernah berduaan denga nonmurimku selama belajar di pesantren ini.. Jika sampai berduaan, bisa-bisa malah mengudang setan untuk menggoda!!

“Jangan khawatir. Nanti Umi yang akan menemani kalian,” lagi-lagi Umi menebak kegundahanku.

Ucapan itu sungguh menenteramkan. Meskipun sebenarnya tak sepenuhnya mengusir kegundahan. Harap dimaklumi saja. Setiap orang yang akan menghadapi situasi baru pasti akan merasakan ketakutan dan kegugupan seperti ini. Yah, semoga saja kehadiran Umi mengawasi kami membuat hal macam-macam tidak timbul.

*&*&

 “Fa’ala yaf’ulu fa’lan wa maf’alan, fahuwa…”

Sore itu kami memulai pelajaran selepas pengajian Qur’an dan sebelum sorogan Tafsir Jalalen ba’da Maghrib nanti. Tak ada siapapun lagi di ruang tamu tempat kami belajar ini, kecuali Umi, tentu saja, yang mengawasi kami sambil membaca sebuah majalah. Dan untuk pelajaran pertama ini, kuimla bahasan tasrif yang merupakan tata bahasa dasar Bahasa Arab yang sudah sangat akrab dipelajari kalangan santri. Dengan ini, diharapkan Kang Imah, atau Kang Halimah – sebutan “Kang” adalah panggilan hormat bagi putra maupun putri kiai di Cirebon – akan mengejanya ulang setelahku.

Tapi yang kudengar kemudian malah tawanya.
“Aku sudah madrasah aliyah,” ujarnya, “Masak belajar tasrif lagi?”
Aku terbengong. Sekilas pandangan kami tanpa sengaja beradu. Tampak juga senyum menyungging di wajahnya, membuat mukaku memerah karena gugup. Untungnya Kang Imah tak menyadari itu. Ia keburu memalingkan wajahnya untuk mengambil buku yang sedari tadi dipangkunya dan hendak diperlihatkan kepadaku sebagai bahan pembelajaran.

Kejadian selanjutnya kami asyik belajar bersama. Namun tahukah kau, Kawan, ada sesuatu tertinggal sejak pandangan pertama tak sengaja itu. Sesuatu yang tertinggal di hatiku!! Yang begitu berkesan sehingga aku pun tak kuasa untuk memahaminya! Dan kesan itu tak lekang bahkan hingga beberapa kali pertemuan kami. Ia sanggup menstimulus degup hatiku, dingin keringatku, gigil tubuhku. Dan sensasi itu membuatku mulai merindukan pertemuan berikutnya dan berikutnya. Membuat aku mulai menginginkan untuk terus menatap wajah dan senyum.

Astagfirullah. Pantaslah jika Rasulullah hanya membolehkan pandangan pertama saja, karena ternyata padangan kedua dan ketiga mampu menjadikan sebuah pandangan sebagai zinah mata! Ya, seperti aku yang sesekali mencuri pandang pada paras cantik Kang Imah.

Aku tahu itu salah. Aku tahu Allah tak menyukainya. Tapi tak dapat kumungkiri pula bahwa sepertinya telah aku jatuh cinta padanya. Karena mata itu. Karena senyuman di pertemuan pertama itu! Hingga kini, bahkan mungkin nanti!!

Ya, Allah, salahkah jika aku kasmaran padanya hanya karena cara menuntaskan rinduku telah pun salah?

*&*

Inilah mengapa kukatakan Imam Syafi’I menghindari perempuan demi pembelajarannya, karena kutahu akhirnya bahwa memandang kecantikan perempuan, hingga kemudian memikirkannya, sanggup membuat kita tak lagi beristiqomah pada misi menuntut ilmu. Tak terekam lagi rapalan Imriti-ku. Tak berjejak lagi hafadan Juzz-ku. Lantak sudah ritme belajarku!

Tapi andai kali ini kau sempatkan untuk berhenti menyalahkanku, aku ingin mengutarakan sejenak isi hatiku padamu. Aku ingin berbagi pengakuan tentang Kang Imah, yang di hatiku mulai kupanggil “Imah” saja.

Di mataku, sejujurnya ada sesuatu yang kulihat pada Kang Imah selain paras cantik belaka. Aku melihatnya sebagai gadis istimewa.  Ada begitu banyak kiai yang memiliki santri dan asrama di sini karena pesantren ini sudah menjadi semacam suatu kampung santri atau padepokan. Ada banyak anak gadis para kiai pula. Tapi mereka tak seperti Kang Imah yang tertutup hijabnya. Memang ada pula yang tertutup hijab, tetapi mereka introver, tak lugas berkomunikasi. Dari sini aku mengagumi Kang Imah. Aku mengagumi wawasan ilmu keislamannya. Cacat dalam Bahasa Arab tak masalah, tetapi kesupelan dan keluwesannya bertutur kata telah mampu mengantarkanku pada perasaan ini.

Tadinya aku akan berpikir untuk mencintai secara platonik saja. Tapi sang Waktu akhirnya menunjukkan bahwa Kang Imah pun memiliki perasaan yang sama! Perasaan yang justru timbul dari kekagumannya terhadap kefasihan Bahasa Arabku! Perasaan yang dalam perjalanannya bahkan terbumbui karena ia menyukai wajahku di saat kikuk.  Perasaan yang sanggup membuatnya melakukan kesalahan yang sama denganku: mencuri-curi pandang!

Dan cinta sepertinya memang tak mudah dimengerti. Sama tak mudah dimengertinya perbuatan-perbuatan yang kemudian ditimbulkannya.  Sampai kini kami pun tak mengerti mengapa kami akhirnya memutuskan untuk mengikat hati kami dalam sebuah ikatan yang kamu sebut sebagai pacaran!

*&*&

Angin kumbang berhembus dari lereng Ciremai. Melewati Bandara Penggung, ladang tebu, hingga sampailah ia menerpa kami yang duduk di bantaran rel kereta Yogya–Cirebon pada suatu sore. Tak ada orang lain di sini karena kawasan ini berada di tengah-tengah ladang tebu yang jauh dari pemukiman penduduk  dan kompleks pesantren. Namun tak ayal hati kami gundah, sekalipun ada getar rindu yang terobati.

“Kita tak bisa terus begini,” ujarku gelisah. “Ini salah di mata Abah.”
Ya, salah. Pacaran saja sudah amat Abah haramkan, apalagi berduaan di tempat sepi dengan status sebagai backstreet!! Kulihat Imah yang duduk di sampingku. Ia tampak tertunduk. Mungkn menyetujui pula ucapanku hingga tak kuasa ia memikirkannya.
“Kalau Abah tahu, kamu pasti diusirnya,” Ia  akhirnya bergumam. Ada getir dalam suaranya, tapi di telingaku terdengar seperti sebuah ancaman!
“Kamu serius mencintaiku?”  tanyanya, sedikit penuh harap.
Meski tak mengerti arah pertanyaannya, aku mengangguk pasti.
“Kamu mau menikahiku?”
Aku terkesiap. Gagu.

Sebenarnya bukannya aku tak mau. Hanya saja ia masih bersekolah dan aku masih menyambi kuliah D3 di Kota Cirebon! Tapi kemudian Imah menjelaskan maksud pertanyaannya.
“Cepat atau lambat Abah pasti tahu hubungan kita. Aku tak ingin ia tahu hubungan kita, setidaknya sekarang, saat keadaan kita sedang backstreet begini. Ia pasti akan mengusirmu dan aku tidak diperbolehkan lagi bertemu kamu. Aku tak mau kalau kita berpisah! Aku ingin kita menikah! Aku sudah kelas 3 SMU sekarang. Enam bulan lagi aku lulus. Enam bulan lagi kamu harus melamarku!”

Aku meringis, dan ingin bersuara – mungkin tepatnya menceramahi tentang usianya masih mudalah, sangat disayangkan jika menikah di usia mudalah, dan lain sebagainya – tapi saat kulihat mata Imah, aku tahu ia tidak main-main. Malahan ia siap jika harus menikah di usia muda!! Jadi tegakah aku memupus harapannya?

Tentu saja tidak!! Sudah menjadi impian yang kuidam-idamkan jika hidup bersamanya, menjadi ayah dari anak-anaknya, dan penuntunnya menuju surga kelak! Tapi tantangan utama adalah Abah, dan juga adat di perkampungan santri ini. Dalam sejarahnya, tak pernah seorang pun santri di sini yang sampai meminang anak kiainya, terutama santri laki-laki terhadap putri kiainya. Selalu ada perjodohan antar anak kiai yang telah mengakar menjadi tradisi.

Lalu sanggupkah aku melawan tradisi itu? Bisakah aku?

“BISA!”  Dan Bowo yang optimistis. Dia satu-satunya kawan santri terpercaya yang kuceritakan tentang masalah ini.

“Kamu tahu kenapa para kiai sini senang sekali menjodohkan anak-anaknya?’

“Supaya bisa melanjutkan mengelola pesantren sekaligus mendekatkan keluarga dalam padepokan ini?” timpalku.

“Kurang lebih begitu,” ucap Bowo, “Tapi alasan paling utama adalah alasan ‘percaya’. Seperti kamu bilang, menjadi mantu kiai tak hanya menjadi mantu, tapi untuk dijadikan penerus pesantren pula. Tidak boleh sembarangan dong, kalau ingin punya mantu seperti itu. Tapi jujur saja mencari mantu ‘terpercaya’ juga susah. Makanya, para kiai sendiri ambil ‘jalan gampang’ saja, yakni menjodohkan anaknya dengan anak kiai lain sambil mikir, ‘bapaknya aja soleh dan berilmu, masa anaknya tidak?’ Padahal kan belum tentu anak kiai pun sesoleh dan seberilmu bapaknya. Iya, ora?”

Aku refleks mengangguk-angguk setuju.

Merasa mendapat angin, santri yang lebih sering menghabiskan waktu senggangnya menggasab pohon tebu tapi dianugerahi otak yang gemar beranalisa dengan gaya sok ilmiah itu, melanjutkan ucapannya penuh semangat.

“Nah, nah, nah, ini yang patut kamu sadari. Bagaimanapun, faktor berilmu dan soleh tetap paling utama. Coba bayangkan saja, andai kamu jadi kiai, lalu anakmu dilamar oleh dua orang. Yang satu anaknya kiai tapi preman dan bejat, sedangkan, yang satu lagi santri yang soleh dan tinggi ilmu agamanya, bahkan Bahasa Arab dan Ilmu Komputernya (walau D3). Kamu pilih mana?”

Aku mulai paham maksud ucapan Bowo.
“Dengan kata lain aku harus lebih soleh dan berilmu sehingga Abah tak punya pilihan lain selain memilihku?”  Bowo mengangguk mantap.

Ucapan menyenangkan dari seorang Bowo. Tapi harus kusadari kisahku bukanlah dongeng. Segalanya pasti tak akan berjalan mudah. Dan lagi, aku tak dapat memungkiri bahwa aku takut segalanya akan berubah sia-sia.
"Man jada wa jadda," ucap Bono kemudian.
Aku tersenyum seketika mendengarnya. Gundahku pun mendadak sirna.

Ya, man jada wa jadda – siapa yang berusaha akan mendapatkan hasilnya. Bukankah ruh itu yang sellu didengungkan oleh agamaku?  Juga santri-santri sini? Karena kami menyadari bahwa sudah menjadi kewajiban seorang Muslim untuk berjuang hingga titik terakhir!

Baiklah. Mulai detik ini kuputuskan aku akan berjuang hingga akhir. Kuperbaiki ilmuku, dan akhlakku, hingga saat yang dijanjikan tiba. Saat yang dijanjikan untuk meminang imah!

Jadi tunggulah, Imah. Di hari itu... aku pasti melamarmu!
Insya Allah!!

(Hara)
;aadk;ak;kda

1 komentar:

  1. Cerita dan tulisannya bagus, mas / mbak...
    Terimakasih sudah menulis ini. Semoga berlanjut

    BalasHapus